Beberapa teman mulai meminjamkan sebagian tanahnya kepada Jo di Koonorigan, dekat Nimbin New South Wales.
Di atas tanah itu, Jo membangun sebuah gubuk yang ditenagai sinar surya dan menggunakan barang-barang daur ulang. Jo tak ingin hidup gratis. Sebagai ganti uang sewa tanahnya itu, dia bekerja merawat bunga anggrek milik teman-temannya.
Untuk kebutuhan makan sehari-hari, ia menonsumsi makanan yang ditanamnya sendiri. Terkadang pula tetangga kiri-kanannya memberikan makan malam untuknya.
Untuk memasak, Jo menggunakan kompor kayu bakar dan air yang ia dapat dari menampung air hujan.
Awalnya ia mengaku khawatir, berapa banyak makanan yang perlu ditanam. Ia takut kekurangan. “Tapi ternyata untuk memberi makan satu orang jumlah yang diperlukan sangatlah sedikit,” ujarnya.
Sedangkan untuk kebutuan mandi, Jo memulung bekas sabun dan demi mendapatkan air hangat, ia menjemur satu ember plastik hitam di bawah sinar matahari. Sedangkan untuk kertas toilet, Jo meminta serbet kertas bekas yang didaur ulang dari sebuah kafe.
Tantangan terberat yang harus ia jalani adalah soal perawatan kesehatan. Meski hidup sederhana tanpa uang, ia tidak mengabaikan kesehatannya. Ia sempat menumpang untuk mengunjungi dokter guna memeriksakan kesehatannya. Untungnya biaya dokter itu gratis.
Kalimat menarik yang ia ucapkan, “Lantaran hidup tanpa uang, maka Saya sepenuhnya bergantung pada sistem”, ujarnya.
Tepat di bulan Maret 2016, tepat pula setahun ia menjalani hidup tanpa uang sama sekali. Hidup yang cukup berat bagi seseorang yang telah terbiasa dengan fasilitas yang hanya bisa didapat dengan uang.
Namun, bukan “Tanpa Uang”-nya yang membanggakan Jo. Melainkan, keberhasilannya dalam mengurangi jejak karbon dari perilaku hidupnya.
“Saya berhasil mengurangi jejak karbon sekitar 80-90 persen, tapi jika orang lain juga bisa mengurangi jejak karbon mereka 40-50 persen saja maka hal itu akan memberi banyak perubahan pada upaya kita menjaga kenaikan suhu Bumi di bawah 2 derajat,’ katanya lagi.
Beri Komentar